kebijakan pertahanan singapura (pendidikan kewarganegaraan)
KEBIJAKAN PERTAHANAN SINGAPURA
1. Pendahuluan
Indonesia dan Singapura merupakan dua negara yang mempunyai saling ketergantungan satu terhadap lainnya. Namun di balik saling ketergantungan tersebut, masih ada sejumlah perbedaan posisi yang sangat signifikan dalam isu-isu yang terkait dengan pertahanan. Tiga tahun silam kedua negara terlibat perdebatan sengit menyangkut implementasi Defense Cooperation Agreement (DCA).
Selain itu, Indonesia dan Singapura masih mempunyai masalah perbatasan maritim yang belum disepakati bersama, khususnya pada segmen timur yang terbentang dari utara Pulau Batam hingga Karang Horsburgh. Isu keamanan maritim di Selat Malaka mewarnai pula interaksi kedua negara, yang mana kedua negara mempunyai sejumlah kebijakan berbeda dalam menangani isu tersebut. Begitu pula dengan pengelolaan ruang udara Indonesia yang terbentang dari Laut Natuna, Selat Karimata, perairan utara Kepulauan Bangka dan Belitung hingga Selat Malaka.
Selain diliputi oleh masalah yang terkait dengan bidang pertahanan, hubungan kedua negara juga diliputi oleh sejumlah masalah di bidang ekonomi dan hukum. Di samping adanya tuduhan bahwa Singapura menjadi tempat perlindungan (safe heaven) bagi para koruptor asal Indonesia, negeri itu juga disinyalir melindungi kegiatan penyelundupan dari dan ke Indonesia lewat laut. Beberapa masalah yang terkait bidang pertahanan, ekonomi dan hukum membuat hubungan kedua negara rentan terhadap arus pasang surut.
Dengan adanya sejumlah isu yang masih menjadi ganjalan dalam hubungan Indonesia-Singapura, dipandang perlu untuk memahami kebijakan pertahanan Singapura. Meskipun kemungkinan konflik terbuka antar kedua negara untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang kini mengemuka cukup kecil, akan tetapi kekuatan pertahanan Singapura yang cukup besar kemampuan penginderaan, mobilitas, daya pukul dan C4ISR perlu untuk diperhitungkan. Sebab strategi pertahanan Singapura menganut strategi pre-emptive strike berpotensi merugikan kepentingan nasional Indonesia apabila terjadi ketegangan antar kedua negara atas beberapa isu yang dianggap vital dan strategis bagi Singapura.
2. Kebijakan dan Strategi Pertahanan Singapura
Kebijakan pertahanan Singapura bertujuan untuk menjamin negeri itu menikmati perdamaian dan stabilitas dan melindungi kedaulatan dan keutuhan wilayah negeri itu. Untuk mencapai tujuan tersebut, diplomasi dan penangkalan merupakan dua pilar dalam kebijakan pertahanan Singapura. Dalam menjalankan kebijakan tersebut, terdapat dua kunci pendorong yang dilaksanakan. Pertama, memperkuat dialog, membangun kepercayaan dan kerjasama di kawasan dan sekitarnya. Kedua, memperkuat pertahanan total.
Terkait dengan hal pertama, Singapura senantiasa aktif melaksanakan dialog keamanan, membangun kepercayaan dan kerjasama dengan berbagai negara, baik di kawasan Asia Tenggara maupun di luar kawasan ini. Kerjasama itu diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti latihan militer bersama, pertukaran informasi, pendidikan, dialog, seminar, lokakarya dan lain sebagainya. Bila diperhatikan, intensitas Singapura dalam bidang ini cukup tinggi, bahkan negeri itu mempunyai beberapa perjanjian dengan sejumlah negara yang bertajuk Defense Cooperation Agreements (DCA).
Mengenai pertahanan total, Singapura dikenal merupakan salah satu negara dengan sistem pertahanan yang terbaik di dunia. Setiap warga negara Singapura yang telah dewasa dipastikan telah mengikuti program National Service dan merupakan bagian dari komponen cadangan pertahanan. Selain itu, infrastruktur di Singapura dalam rancang bangunnya juga telah memasukkan pertimbangan kepentingan pertahanan di dalamnya. Konsep pertahanan total Singapura menitikberatkan kekuatan pada citizen army dalam pertahanan, sebab jumlah warga sipil yang terlatih secara militer lebih banyak daripada kekuatan militer reguler itu sendiri.
Di samping dua pilar tersebut, Singapura mengedepankan pula pendekatan 4D sebagai bagian dari kebijakan nasional secara global. Meliputi defense, diplomacy, deterrence dan development. Melalui empat pendekatan tersebut, Singapura berupaya mempertahankan eksistensinya di dalam atmosfir internasional yang selalu dinamis dan tidak selalu bersahabat. Lewat pendekatan itu pula, pembangunan kekuatan pertahanan senantiasa memperoleh perhatian sama dengan pembangunan di bidang ekonomi maupun diplomasi.
Kebijakan pertahanan yang berdiri di atas dua pilar seperti telah disebutkan sebelumnya tentu saja tidak lepas dari pengalaman negeri itu sejak masa kolonial Inggris hingga merdeka dari Malaysia pada 1965. Negeri itu pernah menjadi benteng andalan Inggris dalam menghadapi invasi Jepang pada awal Perang Dunia Kedua dan ditaklukkan Jepang dengan cara yang tidak terduga. Singapura pernah pula mengalami situasi permusuhan dengan Indonesia ketika kebijakan Konfrontasi dilancarkan oleh Indonesia pada 1963-1965. Setelah militer Inggris menarik diri dari kawasan Asia Tenggara pada 1971, Singapura dipaksa oleh keadaan untuk mampu mempertahankan diri dari perasaan terancam oleh dua negara di sekitarnya. Meskipun penarikan diri militer Inggris diikuti dengan pembentukan Five Power Defence Arrangement (FPDA), akan tetapi eksistensi persekutuan militer tersebut tidak menghalangi aspirasi Singapura untuk bisa mempertahankan diri sendiri secara mandiri.
Sejak berdirinya Singapura sebagai negara merdeka, kepemimpinan negeri itu selalu menekankan pada pentingnya kekuatan militer untuk kelangsungan hidup dan keamanan. Bertolak dari situ, merupakan hal yang menarik untuk mencermati bagaimana praktek kebijakan pertahanan Singapura. Sebelum membahas lebih jauh tentang praktek itu, ada baiknya bila dipahami terlebih dahulu cara pandang Singapura terhadap kawasan di mana negara itu terletak. Kepemimpinan di Singapura sejak 1965 hingga saat ini terus mengembangkan “mentalitas terkepung” yang memandang Singapura selalu dalam ancaman terus menerus dari para tetangganya. Dengan komposisi penduduk yang 75,18 persen etnis Cina, sementara etnis Melayu hanya 13,62 persen serta secara geografis “terpaksa” harus bertetangga dengan dua negara besar kawasan yang berpenduduk mayoritas Muslim, “mentalitas terkepung” akan terus dikembangkan demi kelangsungan hidup negeri itu. Disadari atau tidak, “mentalis terkepung” berkonsekuensi pula pada tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap dua negara besar di sekitar Singapura.
Merespon situasi demikian, praktek kebijakan pertahanan Singapura adalah mencari sebanyak mungkin aktor kekuatan ekstra kawasan untuk dirangkul dan dijadikan teman baik. Hal ini merupakan pengejahwantahan pernyataan Perdana Menteri (saat itu) Lee Kuan Yew bahwa “kita harus mempunyai kapasitas untuk melawan invasi dan memanggil (negara-negara) kawan yang akan siap membantu kita apabila kita diinvasi”. Meskipun Singapura mempunyai kerjasama pertahanan dengan beberapa negara di sekitarnya, namun kualitas kerjasama pertahanan dengan negara-negara di luar kawasan nampak lebih menonjol.
Secara tradisional Singapura merupakan negara Persemakmuran yang dipimpin oleh Inggris, akan tetapi dalam prakteknya interaksi Singapura dengan Amerika Serikat di bidang pertahanan jauh lebih tinggi intensitasnya. Boleh dikatakan bahwa Amerika Serikat merupakan sekutu terkuat Singapura, setidaknya demikian persepsi yang timbul dari negara-negara lain selama ini. Hal itu bisa dilihat dari fasilitas logistik Komando Pasifik Amerika Serikat di pangkalan Angkatan Laut Changi (Commander, Logistic Group, Western Pacific) dan fasilitas serupa untuk pesawat udara Amerika Serikat yang mendarat di Pangkalan Udara Paya Lebar. Fasilitas-fasilitas itu berpindah ke Singapura setelah Filipina pada 1991 tidak lagi memperpanjang penggunaan fasilitas di Teluk Subic dan Pangkalan Udara Clark.
Di samping soal penyediaan fasilitas militer, Singapura merupakan satu-satunya negara kawasan yang berkepentingan dengan Selat Malaka yang sangat berhasrat mengundang masuknya armada Angkatan Laut Amerika Serikat untuk mengamankan perairan strategis tersebut. Kalau dirunut ke belakang, kehadiran militer Amerika Serikat dimulai sejak 1960-an ketika Perang Vietnam sedang berkecamuk. Singapura menjadi tempat 4R bagi kapal perang dan personel Angkatan Laut Amerika Serikat.
Dalam bidang latihan, intensitas latihan militer Singapura-Amerika Serikat cukup tinggi, baik yang diselenggarakan di Laut Cina Selatan maupun di wilayah Amerika Serikat. Terdapat pula detasemen pesawat tempur, heli serang dan heli angkut milik Angkatan Bersenjata Singapura yang berpangkalan di Amerika Serikat, yakni pesawat tempur F-15SG, F-16C/D dan heli serang AH-64D Apache dan CH-47SD Chinook. Latihan di Laut Cina Selatan bukan saja antar Angkatan Laut, tetapi melibatkan pula Angkatan Udara kedua negara. Bahkan tidak jarang latihan itu digelar di wilayah udara di atas Laut Natuna yang dianggap Singapura bagaikan wilayah udara teritorialnya sendiri.
Eratnya kerjasama keamanan Singapura-Amerika Serikat diperkuat oleh penandatanganan The Strategic Framework Agreement di Washington pada Juli 2005 oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong dan Presiden George W. Bush. Melalui perjanjian itu, kerjasama kedua negara diidentifikasikan sebagai major security cooperation partners. Penting untuk diketahui bahwa di kawasan Asia Tenggara hanya Filipina dan Thailand yang dapat digolongkan secara resmi sebagai sekutu Amerika Serikat, sebab kedua negara telah membuat ikatan persekutuan dengan Amerika Serikat ketika Perang Dingin masih berkecamuk pada akhir 1950-an.
Mengingat wilayahnya yang sangat sempit, militer Singapura membutuhkan ruang untuk melaksanakan latihan militer. Oleh karena itu, Singapura telah menjalin kerjasama latihan dalam bingkai DCA dengan beberapa negara seperti Australia, Selandia Baru dan India. Di Australia, Angkatan Bersenjata Singapura menggunakan fasilitas seperti kawasan latihan di Shoalwater Bay, Pusat Penerbangan Oakey di Queensland dan Pangkalan Udara Pearce di Perth. Sedangkan di Selandia Baru, Angkatan Bersenjata Singapura mendapatkan akses untuk menggelar latihan militer di beberapa fasilitas latihan Angkatan Bersenjata Selandia Baru, misalnya di Waiouru Training Area.
Interaksi antara Singapura dengan India di bidang pertahanan antara lain dicerminkan oleh latihan-latihan yang melibatkan Angkatan Bersenjata kedua negara secara rutin. Selain itu, Singapura sejak 2007 telah menyewa Pangkalan Udara Kalaikunda, Bengal Barat, India selama lima tahun untuk kepentingan latihan Angkatan Udaranya. Adapun interaksi Angkatan Laut kedua negara juga cukup tinggi, antara lain partisipasi Angkatan Laut Singapura dalam Malabar Exercise yang melibatkan India, Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Singapura sendiri. Baik dalam latihan yang mengambil tempat di Samudera India maupun di Laut Filipina.
Walaupun selama ini dikenal sangat dekat dengan Amerika Serikat, dalam perkembangan terakhir Singapura telah menggelar latihan bersama untuk pertama kalinya dengan militer Cina pada Juni 2009. Latihan itu melibatkan kekuatan Angkatan Darat kedua negara dengan mengambil tema penanggulangan terorisme dengan sandi Cooperation-2009. Hal itu merupakan kelanjutan dari pakta keamanan yang disepakati kedua negara pada awal 2008.
Terjalinnya kerjasama keamanan antara Singapura dengan Cina dapat dilihat sebagai perubahan cara pandang Singapura terhadap kemunculan Cina sebagai calon aktor global. Seperti diketahui, selama ini Singapura lebih menjalin hubungan erat dengan Taiwan, yang mana sebagai imbalannya Taiwan menyediakan kawasan latihan militer bagi Singapura di wilayahnya.
Latihan yang digelar oleh Angkatan Bersenjata Singapura, khususnya Angkatan Laut bukan saja untuk menghadapi ancaman konvensional, tetapi juga dalam rangka menghadapi ancaman non konvensional seperti proliferasi senjata pemusnah massal dan terorisme. Misalnya Deep Sabre Exercise II yang dilaksanakan di Singapura pada 27-30 Oktober 2009 yang diikuti 2.000 personel, 18 kapal perang dan delapan pesawat udara dari 22 negara. Sebagai negara kota yang oleh aktor non negara tertentu dianggap “sekutu” Amerika Serikat, Singapura menghadapi sejumlah ancaman serangan terror pasca peristiwa 11 September 2001.
Singapura berpartisipasi pula dalam operasi keamanan maritim di perairan Somalia melalui penyebaran kapal perang Angkatan Lautnya untuk berpartisipasi dalam Combined Task Force-151 (CTF-151) yang beroperasi di Teluk Aden. Bahkan dalam perkembangan terakhir, terhitung mulai 19 Januari 2010-20 Maret 2010 Laksamana Muda Bernard Miranda memimpin CTF-151. Kepemimpinan Singapura dalam CTF-151 menandakan bahwa Angkatan Laut negeri itu sudah mempunyai kemampuan memimpin operasi multinasional.
Beberapa kapal perang Angkatan Laut Singapura disebarkan pula ke Teluk Persia dalam periode 2003-2008 guna mendukung Operation Iraqi Freedom di bawah komando Multi National Force-Iraq yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Selain kapal perang, Singapura menyebarkan pula pesawat angkut dan pesawat tanker guna mendukung operasi pasukan koalisi di Irak. Kekuatan Angkatan Darat Singapura disebarkan pula ke Afghanistan untuk melaksanakan proyek-proyeksi rekonstruksi di negeri itu.
Kebijakan pertahanan Singapura selanjutnya dijabarkan menjadi strategi pertahanan. Strategi pertahanan Singapura adalah porcupine strategy sebagai pengembangan dari poisonous shrimp strategy. Strategi yang terakhir disebut didasarkan pada anggapan bahwa negara kecil dengan kemampuan pertahanan yang dihormati akan dapat menangkal agresor potensial. Namun demikian, strategi itu mempunyai keterbatasan yaitu menyerah atau bunuh diri.
Dari sana kemudian dikembangkan porcupine strategy, yang beranggapan bahwa Singapura tidak akan mampu menghancurkan secara total negara agresor, namun pihak tersebut harus membayar dengan biaya tinggi akibat tindakan agresinya terhadap Singapura. Pembangunan kekuatan pertahanan Singapura harus dilihat dari kacamata tersebut. Penempatan sebagian sistem senjata Singapura di luar negeri dengan alasan untuk kepentingan latihan merupakan bagian tidak terpisahkan dari porcupine strategy.
Untuk dapat melaksanakan strategi pertahanan yang telah dirancang, Singapura mengkombinasikan pemenuhan sistem senjata melalui pemenuhan dari sumber industri pertahanan lokal dengan industri pertahanan asing. Amerika Serikat menjadi pemasok utama kebutuhan alutsista Singapura, khususnya yang terkait dengan beberapa jenis pesawat udara, termasuk helikopter untuk melengkapi kapal fregat kelas Formidable. Sedangkan untuk persenjataan Angkatan Laut, selain membuat beberapa sistem senjata di dalam negeri, negeri itu lebih banyak mengandalkan pada alutsista buatan Eropa dan Israel. Contohnya adalah kapal fregat asal Prancis dan kapal selam buat Swedia, sedangkan persenjataan kapal permukaan khususnya rudal sebagian dipasok dari Israel.
Industri pertahanan lokal Singapura seperti ST Engineering berkontribusi besar terhadap pembangunan kekuatan Angkatan Darat negeri itu, baik senapan serbu, meriam lapangan, meriam pertahanan udara, radar artileri, kendaraan lapis baja dan lain sebagainya. Adapun kontribusi industri tersebut terhadap sistem senjata Angkatan Laut dan Angkatan Udara diberikan dalam kemampuan memelihara berbagai kapal perang dan pesawat udara kedua angkatan. Namun perlu diketahui pula bahwa untuk kebutuhan kapal patroli, kapal ranjau dan kapal LST, ST Engineering melalui anak usahanya yaitu ST Marine telah mampu menyuplai kebutuhan Angkatan Laut Singapura. Selain mendukung kebutuhan kekuatan pertahanan Singapura, ST Engineering kini juga telah menjadi salah satu pemain di kancah bisnis internasional.
Terkait dengan industri pertahanan, penting untuk dipahami bahwa Singapura merupakan salah negara yang mengadopsi revolution in military affairs (RMA). Esensi dari upaya-upaya teknologi pertahanan yang terkait dengan RMA berfokus pengadaan, pengembangan dan integrasi teknologi untuk komando dan kendali dengan sistem intelijen, pengamatan dan pengintaian dan dengan senjata-senjata kendali presisi. Tujuannya adalah agar satuan-satuan tempur Angkatan Bersenjata Singapura mampu menentukan lokasi, sasaran dan menghancurkan sasaran secara efektif dalam konteks kekuatan gabungan dan operasi-operasi gabungan sepanjang waktu.
Kebijakan pengembangan industri pertahanan Singapura mempunyai keterkaitan langsung dengan RMA. Setiap sistem senjata yang diproduksi oleh industri pertahanan Singapura merupakan kebutuhan nyata Angkatan Bersenjatanya, sehingga spesifikasi teknis, operational requirement dan lain sebagainya sesuai dengan keinginan calon konsumen. Dalam sistem senjata tersebut ditanamkan teknologi-teknologi yang terkait dengan aplikasi RMA dan dalam hal ini peran Defence Science and Technology Agency (DSTA) dan Defence Science Organization (DSO) cukup krusial.
Dengan mengadopsi RMA serta dukungan kuat dari industri pertahanannya, kekuatan pertahanan Singapura merupakan yang termodern di kawasan Asia Tenggara. Sehingga berimplikasi pula pada peningkatan kemampuan penangkalan. Terlebih lagi kebijakan pertahanan Singapura mempunyai benang merah dengan kebijakan ekonomi secara luas. Sehingga bukan saja kinerja ekonominya dapat mendukung kebutuhan pertahanan, tetapi meliputi pula kemampuan BUMN Singapura mengendalikan ekonomi beberapa negara di kawasan Asia Tenggara melalui penguasaan perusahaan-perusahaan asing penting seperti perbankan dan telekomunikasi.
Praktek itu mencerminkan bahwa kebijakan Total Defense diimplementasikan oleh semua instrumen kekuatan nasional. Sehingga apabila ada ancaman terhadap pertahanan Singapura, instrumen kekuatan nasional lainnya —termasuk ekonomi— akan segera berupaya menghalau ancaman tersebut. Dengan menggunakan semua instrumen kekuatan nasional yang dimilikinya, Singapura yakin mereka mampu menghadapi ancaman terhadap kepentingan nasionalnya di tengah lingkungan strategis yang kurang bersahabat.
Angkatan Bersenjata Singapura kini statusnya hampir mencapai Third-Generation Force. Yaitu transformasi kekuatan pertahanan Singapura yang menekankan pada capable of a spectrum of operations, focused on people and values, integrated and networked, holistic advancements dan technologically advance. Dengan bertransformasi menjadi Third-Generation Force, Singapura ingin tetap mempertahankan keunggulan kualitatif kekuatan pertahanannya dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
3. Isu Kritis Indonesia-Singapura
Hubungan Indonesia-Singapura sejak awal terbina selalu mengalami pasang surut. Meskipun kedua negara berada dalam payung ASEAN sejak 1967, akan tetapi atmosfir hubungan yang kurang harmonis seringkali muncul. Pada suatu waktu ketidakharmonisan itu berlangsung di permukaan, namun pada tempo yang lain ketidakharmonisan tersebut terjadi di bawah permukaan. Bukan suatu hal yang berlebihan bila berpendapat bahwa confidence building measures di antara kedua negara masih belum matang. Terkait dengan isu politik dan keamanan, terdapat beberapa isu kritis Indonesia-Singapura:
Pertama, masalah perbatasan. Sampai saat ini, segmen perbatasan kedua negara yang belum disepakati adalah di segmen timur mulai dari utara Nongsa Pulau Batam hingga Pulau Pedra Branca (Karang Horsburgh). Penyelesaian segmen di sebelah timur nampaknya akan memerlukan waktu panjang, sebab harus melibatkan pula Malaysia yang juga mempunyai klaim perbatasan di sekitar perairan tersebut.
Kedua, masalah DCA. Perjanjian kerjasama pertahanan kedua negara yang ditandatangani pada 27 April 2007 di Bali hingga kini belum dapat diimplementasikan karena perbedaan pendapat kedua negara mengenai beberapa wilayah latihan di Kepulauan Riau. Masalah DCA ini terkait dengan perjanjian Military Training Area (MTA) yang sekarang sudah habis masa berlakunya, yang mana Angkatan Laut dan Angkatan Udara Singapura diberikan akses untuk latihan di ruang laut dan udara Indonesia di Laut Natuna dan sekitarnya.
Karena kebijakan pemerintah Indonesia di masa lalu, kini Singapura merasa bahwa ruang laut dan udara di atas Laut Natuna seolah-olah adalah bagian dari wilayah teritorialnya. Terlebih lagi Singapura mempunyai keterbatasan ruang laut dan udara, sehingga akan selalu mencari tempat di luar wilayah negaranya untuk melaksanakan latihan militer. Sampai sekarang, isu latihan militer Singapura di wilayah yurisdiksi Indonesia masih merupakan salah satu isu sensitif dalam hubungan kedua negara.
Ketiga, masalah Flight Information Region (FIR). Masalah FIR mengemuka sejak 1990-an dan sampai sekarang kedua negara belum sepakat soal pengalihan pengelolaan FIR itu kepada Indonesia. Isu ini seringkali dikaitkan dengan isu kedaulatan, meskipun cara pandang demikian tidak sepenuhnya benar. Penting untuk dipahami bahwa ketidaknyamanan Indonesia dengan masalah FIR terkait dengan lalu lintas patroli udara TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara di Kepulauan Riau, selain ketidakefisienan yang dialami oleh perusahaan penerbangan sipil Indonesia yang melayani jalur penerbangan dari dan ke Pulau Natuna Besar karena adanya wilayah udara yang diklaim sebagai wilayah latihan Angkatan Udara Singapura.
Keempat, isu keamanan maritim. Isu keamanan maritim memang merupakan isu hirauan bersama di kawasan Asia Tenggara. Terkait dengan Singapura, sebagai negara pulau yang urat nadi ekonominya sangat tergantung pada keamanan maritim di Selat Malaka, negeri itu mempunyai kecenderungan lebih mempercayai keterlibatan kekuatan ekstra kawasan dalam penanganan keamanan maritim di sini. Kecenderungan demikian berlawanan dengan aspirasi dua negara pantai Selat Malaka yaitu Indonesia dan Malaysia yang tidak ingin ada campur tangan langsung dalam pengamanan perairan strategis tersebut.
Kelima, penyelundupan. Masalah penyelundupan merupakan isu klasik dalam hubungan Indonesia-Singapura, sebab kedua negara memandang dari perspektif yang berbeda terhadap soal ini. Akibatnya dari persepsi Indonesia muncul tudingan bahwa Singapura melindungi kegiatan tersebut karena diuntungkan secara finansial.
Sementara Singapura tidak memandang pergerakan arus barang dari Indonesia sebagai ilegal apabila saat memasuki perairan Singapura mematuhi ketentuan yang berlaku di negeri itu.
4. Implikasi Kebijakan Pertahanan Singapura
Walaupun ASEAN telah eksis sejak 1967 dan Indonesia beserta Singapura duduk bersama di dalamnya, akan tetapi hingga kini Singapura nampaknya masih pesimistik akan peran ASEAN dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan. Isu-isu seperti perebutan klaim atas Blok Ambalat di Laut Sulawesi antara Indonesia-Malaysia dan konflik yang melibatkan Thailand versus Kamboja atas wilayah di sekitar Vihara Prear merupakan salah satu dasar keyakinan Singapura untuk bersikap pesimistis terhadap kinerja ASEAN ke depan dalam menangani isu keamanan sesama negara anggotanya. Sebab Singapura tidak menutup kemungkinan akan terjadinya konflik serupa di masa yang melibatkan dirinya menghadapi negara ASEAN lainnya. Dengan kata lain, Singapura tetap merasa terancam di kawasan Asia Tenggara meskipun peta keamanan dunia dan kawasan Asia Tenggara telah berubah jauh dibandingkan saat ASEAN dibentuk.
Terkait dengan kebijakan pertahanan Singapura, dipandang perlu untuk mengantisipasi implikasinya terhadap kepentingan nasional Indonesia. Pertama, implikasi politik. Sebagai negara yang tidak merasa aman di kawasannya sendiri, Singapura cenderung kurang percaya dengan mekanisme kawasan lewat ASEAN dan lain sebagainya. Sebaliknya, Singapura selama ini nampak lebih percaya kepada aktor ekstra kawasan.
Terkait dengan hal tersebut, implikasi politik yang terkait dengan pelibatan kekuatan ekstra kawasan dalam penanganan keamanan kawasan di Asia Tenggara perlu dicermati. Sebab dengan melibatkan aktor ekstra kawasan, Indonesia sebagai negara yang mempunyai kepentingan yang bersinggungan dengan Singapura dipastikan akan terkena dampaknya. Misalnya dalam isu keamanan maritim di Selat Malaka.
Dengan mengambil preseden kepemimpinan Singapura dalam CTF-151, hal itu merupakan pesan bahwa kekuatan pertahanan negeri itu siap dan mampu memimpin operasional pasukan multinasional. Dalam konteks politik, kepemimpinan Singapura dalam CTF-151 menunjukkan tingkat kedekatan negara itu dengan negara-negara besar dunia, khususnya Amerika Serikat. Pesan politik seperti ini hendaknya dapat ditangkap oleh Indonesia terkait dengan kebijakan pertahanan Singapura.
Implikasi politik kebijakan pertahanan Singapura terhadap Indonesia adalah apabila potensi konflik kedua negara tidak bisa dikelola dengan baik, maka akan berpotensi merugikan kepentingan nasional Indonesia. Sebab dengan postur kekuatan pertahanan yang jauh lebih kuat daripada Indonesia, secara teoritis Singapura mempunyai daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Singapura memadukan pendekatan pertahanan dan diplomasi dalam rangka mengamankan kepentingan nasionalnya. Sementara pada sisi Indonesia, pengelolaan potensi konflik dengan Singapura masih terkesan bersifat pendekatan sektoral dan tradisional yang nyaris miskin terobosan.
Kedua, implikasi militer. Dengan postur pertahanan Singapura saat ini, negara itu mampu melaksanakan proyeksi kekuatan ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Isu kemampuan proyeksi kekuatan ini sebaiknya dicermati oleh Indonesia dalam mengelola potensi konflik dengan Singapura. Sebab bukan tidak mungkin ketika suatu saat nanti Singapura menafsirkan kepentingan nasional yang terkait dengan kelangsungan hidupnya terancam karena manuver Indonesia, negeri itu akan melaksanakan surgical strike ke beberapa center of gravity Indonesia.
Apabila konflik antar kedua negara tidak bisa dikelola dengan baik sehingga menjadi konflik terbuka, dapat dipastikan Singapura akan menggunakan kemampuan proyeksi kekuatannya terhadap Indonesia. Untuk kawasan tertentu seperti Kepulauan Riau yang menjadi pintu keluar masuk Singapura lewat laut dan udara, bukan tidak mungkin akan diduduki sebagaimana wilayah Johor Baru di Malaysia. Sementara kawasan Indonesia lainnya akan diserang dari laut dan udara agar pemerintah Indonesia bertindak sesuai keinginan Singapura.
Potensi konflik dengan Singapura bisa jadi dimulai dari hal-hal yang dari persepsi Indonesia mungkin dipandang tidak vital dan strategis, namun sebaliknya dari sudut pandang Singapura. Misalnya kelancaran pasokan air, gas alam atau isu yang lebih menarik lagi yaitu keamanan maritim di Selat Malaka dan pengelolaan ruang udara di Kepulauan Riau. Isu-isu itu lebih berpotensi mengundang konflik daripada misalnya masalah perbatasan yang belum disepakati atau penyelundupan.
Terhadap dua implikasi tersebut, Indonesia perlu mencari jalan keluar sebagai alternatif untuk mengurangi potensi dampak kerugian yang mungkin dialaminya. Terkait dengan implikasi politik, pekerjaan rumah bagi Indonesia adalah memperkuat kembali mekanisme CBM di ASEAN. Perlu ditinjau ulang apakah cara-cara yang dilaksanakan selama ini dalam membangun CBM antar negara ASEAN sudah efektif atau belum? Kalau belum, apa penyebabnya dan bagaimana solusinya?
Selain itu, perlu dilaksanakan tinjauan ulang terhadap pendekatan diplomasi yang selama ini dipraktekkan oleh Indonesia. Maksudnya, kebijakan diplomasi ke depan harus dipadukan dengan kebijakan pertahanan. Dikotomi antara diplomasi dan pertahanan sudah seharusnya diakhiri, sebab kedua instrumen sama-sama dibutuhkan dalam suatu strategi keamanan nasional yang komprehensif. Dengan kata lain, eksistensi strategi keamanan nasional sudah sulit untuk dihindari di Indonesia, sebab tanpa itu penggunaan instrumen diplomasi dan pertahanan nampaknya tidak akan maksimal.
Sedangkan menyangkut implikasi militer, suka atau tidak suka Indonesia harus melaksanakan modernisasi kekuatan, khususnya TNI Angkatan Laut. Hanya dengan modernisasi itu diharapkan kemampuan penangkalan Indonesia meningkat dibandingkan kondisi saat ini. Kebijakan pertahanan perlu meninjau ulang dislokasi kekuatan, yang mana kekuatan pertahanan ke depan perlu diperkuat di sekitar corong-corong strategis seperti di sekitar Kepulauan Riau.
Di samping itu, dibutuhkan perubahan paradigma dalam membangun kekuatan pertahanan. Misalnya menyangkut surgical strike dan bagaimana strategi menghadapinya. Isu surgical strike sebenarnya merupakan hal yang umum pasca Perang Dingin dan telah berulang kali dipraktekkan oleh beberapa negara maju. Singapura pun menganut surgical strike sebagai implementasi dari kebijakan pertahanannya.
5. Penutup
Kebijakan pertahanan Singapura tidak lepas dari pengalaman sejarah yang dialami oleh negara itu. Perasaan terancam di kawasan Asia Tenggara selalu menjadi dasar dari kebijakan pertahanan Singapura, sehingga meskipun tetap berupaya membangun kemandirian nasional, namun di sisi lain Singapura tetap pula membutuhkan payung keamanan dari kekuatan ekstra kawasan. Kemajuan ekonomi Singapura mempermudah jalan bagi pembangunan kekuatan pertahanan yang jauh lebih unggul di atas negara-negara lain di kawasan ini. Selain itu, pendekatan komprehensif yang antara lain memadukan antara instrumen diplomasi dan pertahanan turut membantu terciptanya kemampuan penangkalan Singapura yang tinggi.
Indonesia mempunyai sejumlah potensi konflik dengan Singapura yang apabila tidak dikelola dengan baik akan bisa berubah menjadi konflik terbuka. Untuk menghadapi implikasi kebijakan pertahanan Singapura, diperlukan tinjauan ulang terhadap beberapa kebijakan yang selama ini dianut, khususnya kebijakan diplomasi dan pertahanan. Selain itu, pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia —termasuk kekuatan laut— merupakan pilihan yang harus ditempuh oleh pemerintah dalam meningkatkan daya tawar sekaligus kemampuan penangkalan.
REFRENSI:
http://www.fkpmaritim.org/analisis-terhadap-kebijakan-pertahanan-singapura/
Komentar
Posting Komentar